Baca juga artikel ini:
Tak bisa dipungkiri bahwa seorang penulis pasti mengalami kelelahan dalam banyak hal. Bukan hanya lelah secara lahir, tapi juga secara batin. Disadari atau tidak hal itu juga menjadi salah satu faktor penghambat proses kreatif saat menulis. Ketika seorang penulis mengalami penurunan stamina, tentu daya menulisnya juga ikut surut. Bagaimanapun tubuh tetap akan meminta haknya dengan atau tanpa dipaksa. Ketika ia dipaksa lebih dari ambang kemampuan, laun pasti lemah dan kalah.
Tiap penulis tentu memiliki cara sendiri agar terus terjaga kebugaran sekaligus semangat menulisnya tanpa kehilangan gagasan semula. Meski demikian, istirahat juga sangat perlu untuk memulihkan kondisi fisik yang menurun. Merujuk pada pengertiannya, beristirahat adalah berhenti sebentar untuk melepaskan lelah. Secara lazim, sebagian orang memaknai bahwa istirahat adalah tidak melakukan aktivitas apa pun, diam, atau bahkan tidur. Namun sebagian yang lain justru memahami sebaliknya, beristirahat cukup mengalihkan perhatian dari satu aktivitas dan tetap melakukan aktivitas lain.
Selain menyegarkan lahir batin, tulisan pun butuh penyegaran. Sebagian penulis merasa waswas jika tidak menyelesaikan tulisan dalam sekali duduk menyebabkan ide yang didapatkan hilang atau kadar cita rasa menjadi kabur dari gagasan semula. Sebagian penulis lain malah sebaliknya, mengendapkan tulisan lebih dulu beberapa saat, setelah menemukan waktu yang tepat ia kembali melanjutkan tulisannya.
Menyegarkan ide bisa dilakukan dengan cara membaca. Cara ini trbukti ampuh menemukan ide atau mengembalikan apa yang dirasa buntu. Kadang-kadang ide begitu cepat menyembul saat membaca, bahkan saking banyak luapan tersebut membuat bingung sekaligus kerepotan menuangnya secara bersamaan. Perlu waspada juga apabila hal itu terjadi, jangan sampai kehadiran ide baru justru menggagalkan gagasan sebelumnya. Acap kali ketika ide baru bermunculan, ide lama pun diabaikan. Kekhawatiran semacam inilah yang sering kali menghantui sekaligus menjadi pemali bagi sebagian penulis sehingga memilih untuk tidak membaca bila gagasan pertama belum tuntas dituangkan.
Membaca ulang atau mengedit naskah bisa juga dijadikan sebagai siasat untuk menyegarkan ide atau gagasan. Jadilah pembaca pertama dan terbaik untuk karya sendiri sebelum orang lain membacanya. Bukankah ketika mengedit ada hal-hal yang perlu ditambah atau dikurangi? Perlu ditegaskan pula bahwa menuntaskan tulisan bukan berarti setelah sampai titik akhir dalam sekali duduk, semua proses sudah tuntas adanya. Tidak! Mengedit naskah sangat diperlukan jika menginginkan hasil akhir yang baik. Jangan memberi batas pada diri sendiri terkait edit atau revisi naskah. Semakin sering diperiksa, tentu akan semakin menyempurnakan kekurangan-kekurangan dalam tulisan tersebut. Bahkan naskah yang sudah direvisi berulang kali pun masih saja ada kekeliruan di dalamnya, apalagi naskah yang hanya sekali atau dua kali koreksi? Setidaknya, seorang penulis harus meminimalkan kekeliruan mendasar atas karyanya sebelum benar-benar dikirim ke media tertentu. Jangan sampai menyesal setelah diterbitkan.
Tak perlu tergesa-gesa menuntaskan tulisan. Memperbaiki isi—lebih-lebih soal tanda baca dan ejaan—jauh lebih utama ketimbang menerbitkannya namun dalam kondisi penuh kekeliruan. Meremajakan dan menyajikan tulisan secara segar sebelum terbit pastilah memberi dampak luar biasa bagi pembaca. Ketika seorang penulis berharap karyanya dihargai, tentu hal utama yang patut diperhatikan adalah proses awal sebelum karya itu diterbitkan. Tanpa berharap penghargaan secara istimewa, jika karya tersebut memang bagus, kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi. Kinerja yang baik tentu akan membuahkan hasil yang baik pula, kan?
Bagikan
SOLUSI JITU MEMECAHKAN KEBUNTUAN IDE SAAT MENULIS
4/
5
Oleh
Anam Khoirul Anam Official